Sabtu, 10 Mei 2014

Gadai dalam Islam



 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempuna dan lengkap, Islam meletakan kaidah atau aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk hidup). Interaksi atau komunikasi sangatlah penting dalam kehidupan untuk saling menolong maupun saling menutupi kebutuhan. Karena itulah, Islam meletakan kaidah atau aturan dalam setiap sisi kehidupan manusia di antaranya dengan saling interaksi antara manusia dan menolong terutama berkenaan dengan hal perpindahan harta dari tangan satu ke tangan lainnya yang sering disebut gadai (rahn).
Utang piutang atau gadai ini tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia, karena hal ini sudah menjadi kebiasaan di kehidupan mereka. Kemajuan zaman yang semakin modern mendesak manusia untuk melakukan gadai atau hutang dengan menjamin hartanya. Realita yang tidak dapat dipungkiran bahwa sekarang ini tempat-tempat penggadaian mulai marak adanya. Gadai tidaklah salah bila dilakukan, namun harus sesuai dengan kaidah atau aturan Islam. Jika, gadai ini dijalankan dengan tidak adanya norma Islam, maka akan terjadi adanya kedzaliman terhadap sesama manusia dengan memakan harta.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian gadai?
2.      Bagaimana pemanfaatan barang gadai menurut para ulama?
3.      Bagaimana implementasi gadai di praktik perbankan syariah?
C.    Tujuan Masalah
Dapat mengetahui dan menjelaskan pengertian gadai, pemanfaatan barang gadai menurut ulama, dan implementasinya dalam perbankan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis Gadai (Rahn)
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِبْنُ أبىِ شَيْبَةَ، ثَنَا وَكِيْعً عَنْ زَكَرِيَّا، عَنِ الشَّعْبِىِّ، عَنْ اَبىِ هُرَيْرَةَ: قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلظًّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدَّارِ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا. وَعَلىَ الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Arti perkata:
bisa dinaiki يُرْكَبُ:
apabila menjadi barang gadai مَرْهُوْنً:
dan wajib atasnya orang yang menunggangi وَعَلىَ الَّذِى:
menafkahi barang gadaian itu نَفَقَتُه:
Arti hadis: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Waki' dari Zakariya dari Asy Sya'bi dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Punggung kendaraan boleh dinaiki jika tergadai, susu boleh diminum jika tergadai, dan bagi orang yang menaiki dan meminum wajib memberikan nafkahnya (biaya perawatan)."
B.     Isi Kandungan Hadist
Dari Abu Hurairah, Rasullulah SAW bersabda : jika kapal yang di naiki dengan wujud manfaatnya ketika di gadaikan, susu yang mengalir yang diminum dengan wujud manfaatnya ketika digadaikan, atas perkara naik dan minum itulah yang ada manfaatnya.
Dari semua bahasa global dari ucapan menggadaikan sesuatu ketika ada pembuktian dan ketetapan dari barang tersebut. (setiap seorang dengan apa yang di dapatkan di sandarkan) di dalam islam memandang menyalurkan uang, penetapkan hutang dan atas kendaraan yang digadaikan.
C.    Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut bahasa, gadai (al-rahn) berarti al-tsubut dan al-sabs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat[1]. Sedangkan secara istilah, rahn yaitu menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu maka sebagian atau bahkan seluruh hutang dapat dilunasi.[2] Menurut syara’, yang dimaksud gadai (rahn) ialah:
1.      Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna dirinya.[3]
2.      Menjadikan suatu benda berharga delam pandangan syara’ sebagai jaminan atas utang selama dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.
3.      Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.[4]
D.    Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
1.      Rukun gadai (rahn)
Para ulama memandang bahwa rukun gadai (rahn) ada empat, yaitu:
a.       Shigat, yaitu lafadz yang diucakan oleh dua orang yang berakad.
b.      Aqid, yaitu yang mengadakan akad (rahin) dan yang menerima gadai (murtahin)
c.       Barang yang dijadikan jaminan (al-marhun)
d.      Utang (al-marhun bih)
2.      Syarat gadai (rahn)
a.       Syarat yang berhubungan dengan aqid (orang yang melakukan akad)
1)      Baligh
2)      Berakal
3)      Ahli tasharuf, yaitu mampu membelajakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.[5]
b.      Syarat yang berhubungan dengan barang (al-marhun)
1)      Barang  gadai itu berupa barang yang dapat menutupi utangnya,baik barang ataupun nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
2)      Barang gadai tersebut adalah milik orang yang menggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagaii jaminan gadai.
3)      Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya.
c.       Syarat yang berhubungan dengan utang (al-marhun bih)
1)      utang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
E.     Pemanfaatan Barang Gadai (Rahn)
Akad penggadaian adalah akad yang dimaksudkan untuk mendapat kepastian dan meminjam utang. Tujuannya bukanlah untuk menumbuhkan harta atau mencari keuntungan. Dan karena demikian ini halnya, tidak halal bagi murtahin untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, meskipun rahin mengizinkannya. Apabila murtahin mengambil yang digadaikan maka ini adalah piutang yang mendatangkan manfaat. Dan setiap piutang yang mendatangkan manfaat adalah riba.
Apabila gadai adalah binatang yang ditunggagi atau diperah susunya, maka murtahin boleh mengambil manfaat darinya sebagai kompensasi biaya yang dikeluarkan untuknya. Sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai berkewajiban memberi makanan, bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila barang gadaian berupa kendaraan. Jadi diperbolehkan di sini adalah upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
Para ulama mempunyai perbedaan pendapat berkenaan dengan pemanfaatan barang gadai, dan pemanfaatan yang diatur dalam KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah), yaitu:
1.      Pendapat Ulama’ Syafi’iyah
Mereka berpendapat, tidak ada hak bagi murtahin untuk mengambil manfaat dari benda yang digadaikan karena sabda Rasulullah SAW:
لَايَغْلُقُ الرَّهْنُ الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
Artinya:
“transaksi gadai tidak menutup pemilik barang dari barang yang digadaikan, dialah yang menebusnya, dan dia pulah yang menanggung dendanya.”[6]
Imam Syafi’i berkata, yang dimaksud ghanmuhu adalah tambahannya, sedangkan gharmuhu adalah kerusakan dan kekurangannya. Tidak ada keraguan bahwa termasuk dalam kategori ghanmuhu adalah berbagai segi-segi pemanfaatannya. Jika pengambilan manfaat tersebut tidak disyaratkan di dalam akad, maka murtahin boleh mengambil manfaat dengan izin pemiliknya, karena rahin adalah pemilik barang tersebut dan dia tidak berkan men-tasharuf-kan barang yang dimilikinya kepada siapapun yang dia kehendaki dan di dalam pemberian izin tidak ada tadlyi’ (menyiakan) hak terhadap marhun, karena marhun tidak keluar dari penguasaan rahin dan tetap tertahan dalam kekuasaannya, karena memang menjadi haknya.
2.      Pendapat Ulama Malikiyah
Apabila rahin memberi izin kepada murtahin untuk mengambil manfaat dari marhun, atau murtahin mensyaratkan sebuah manfaat, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan dain (hutang) berasal dari akad jual beli atau serupa (akad mu’awadlah, ada kompensasi atau ganti manfaat yang diterima murtahin), masa pemanfaatan ditentukan atau diketahui (untuk menghindar dari ketidak jelasan yang dapat merusak akad ijarah) karena hal ini termasuk dalam kategori akad ijarah dan jual beli dan ini diperbolehkan. Kebolehan akad ini seperti yang diungkapkan Imam Dardiri, digambarkan dengan contoh: seorang murtahin mengambil manfaat secara cuma-cuma untuk dirinya atau manfaat itu dihitung sebagi hutang dengan catatan rahin harus segera melunasi sisa hutangnya.
Pengambilan manfaat oleh murtahin ini diperbolehkan apabila dain (hutang) berasal dari akad al-qardl, karena hal ini termasuk dalam kategori hutang yang menarik manfaat, bahkan pengambilan manfaat tetap tidak diperbolehkan meskipun seorang rahin secara suka rela memberi manfaat kepada murtahin (maksudnya tidak disyaratkan oleh murtahin) karena hal ini termasuk dalam kategori hadiyah midyan (hadiah dari orang yang berhutang) dan Nabi Muhammad SAW melarang akan hal ini.



3.      Pendapat Ulama Hanafiyah
Kelompok Hanafiyah berpendapat seorang murtahin tidak berhak untuk mamanfaatkan barang yang digadaikan, baik dengan cara istikhdam (disuruh menjadi pelayan), ditunggangi, dipakai, dibaca (dalam kasus yang digadaikan adalah sebuah kitab) kecuali dengan izin rahin karena yang menjadi hak murtahin hanyalah menahan marhun,[7] bukan memanfaatkannya. Apabila murtahin mengambil manfaat dari marhun,  kemudian rusak pada saat dipakai, maka murtahin berkewajiban menanggung ( mengganti) seluruh nilai dari marhun karena posisi murtahin sama dengan orang yang sedang meng-ghasab sebuah barang milik orang lain. Ketika rahin memberi izin kepada murtahin untuk mengambil manfaat dari marhun, maka sebagian ulama hanafiyah membolehkan secara mutlak, dan sebagian lainnya melarangnya secara mutlak, karena pemanfaatan itu merupakan riba atau di dalamnya terdapat sesuatu yang serupa dengan riba.
Pemberian izin atau kerelaan dari rahin kepada murtahin tidak dapt menghalalkan riba atau memperbolehkan sesuatu yang serupa dengan riba. Di antar mereka juga ada yang mencoba untuk merinci, mereka berkata, apabila seorang murtahin mensyaratkan intifa’ atas rahin pada waktu akad, maka termasuk dalam kategori haram, akan tetapi apabila tidak disyaratkan dalam akad, maka boleh karena hal itu merupakan pemberian suka rela dari rahin kepada murtahin. Syarat bagaimana berupa kata-kata yang jelas (sharih), juga dapat berupa sesuatu yang sudah dikenal atau disebut dengan tradisi. Sesuatu yang suadah menjadi tadisi berposisi sama dengan sesuatu yang disyaratkan.


4.      Pendapat Ulama’ Hanabilah
Pendapat Ulama Hanabilah berbeda dengan pendapat ulama yang lain. Mereka berpendapat, dalam gadai selain hewan yaitu sesuatu yang tida membutuhkan pada pembiayaan (makanan) seperti rumah dan barang lainnya, maka seorang murtahin tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari marhun tanpa izin dari rahin, karena barang yang digadaikan, manfaat serta pengembangannya menjadi milik rahin, sehingga selain rahin tidak berhak untuk mengambilnya tanpa izin dari rahin. Apabila rahin memberikan izin kepada murtahin dengan tanpa ganti rugi, sedangkan hutang dari pergadaian akad  al –qardl, maka tetap tidak boleh murtahin mengambil manfaat pada marhun (barang gadai) karena hal itu termasuk dalam kategori hutang (qard) yang menarik kemanfaatan dan hal itu adalah diharamkan.
F.     Resiko Kerusakan Marhun
Bila marhun hilang di bawah penguasaan murtahin, maka murtahin tidak wajib menggaantikannya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tidak dikunci, lalu barang-barang itu hilang dicuri orang. Murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana layaknya, bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut Hanafi, murtahin yang memegang marhun menanggung resiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak.[8]
G.    Penyelesaian Gadai (Rahn)
Untuk menjaga agar tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “ apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayat utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayara utang yang ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila pada waktu itu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menganggung pembayaran kekurangannya.[9]
H.    Implementasi Akad Gadai (Rahn) dalam Praktik Perbankan Syari’ah
Rahn atau gadai tidak hanya diterapkan oleh perusahaan penggadaian saja, tetapi perbankan syariah juga menyediakan produk berupa rahn dalam operasionalnya.
Rahn dalam perbankan syariah dapat diartikan sebagai menahan asset nasabah sebagai jaminan tambahan pada pinjaman yang dikucurkan oleh pihak bank. Rahn termasuk dalam satu jenis akad pelengkap, sedangkan dalam konteks perusahaan umum pegadaian rahn merupakan produk utama.
Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai berikut :
1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank.
2.   Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
3.  Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.[10]















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dari pemaparan di atas dapat kami tarik kesimpulan, bahwa pengertian gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
Pemanfaatan barang gadai telah dipaparkan oleh para ulama:
1.      Syafi’iyah
Mereka berpendapat bila pemanfaatan barang gadai diperbolehkan jika rahin memberikan izin, karena rahin yang memiliki barang tersebut.
2.      Malikiyah
Mereka berpendapat Apabila rahin memberi izin kepada murtahin untuk mengambil manfaat dari marhun, atau murtahin mensyaratkan sebuah manfaat, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan dain (hutang) berasal dari akad jual beli atau serupa.
3.      Hanafiyah
Sebagian ulama hanafiyah membolehkan adanya pemanfaatan barang gadai oleh murtahin jika ia mendapatkan izin dari pemilik barang yaitu rahin. Tetapi, sebagian lain mempunya pendapat yang berbeda, kerelaan rahin kepada murtahin untuk memanfaatkan barang yang digadaikan tidak dapat menghalalkan riba.
4.      Hanabilah
Murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun (barang gadai) karena hal itu termasuk dalam kategori hutang (qard) yang menarik kemanfaatan dan hal itu adalah diharamkan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005).
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007).
Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Musnad Imam Syafi’i terjemah Edy dah Rahmatullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008).
Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers, 2010).





[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 105.
[2] Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
[3] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86-87.
[4] Ibid, Hendi Suhendi, hlm. 106.
[5] Ibid, Hendi Suhendi, hlm. 107.
[6]Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Musnad Imam Syafi’i terjemah Edy dah Rahmatullah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 602.
[7] Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 94
[8] Ibid, Hendi Suhendi, hlm. 109.
[9] Ibid, Hendi Suhendi, hlm. 110.
[10] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007).

0 komentar:

Posting Komentar